Gambar by Raihan |
Beberapa waktu yang lalu datang ke hadapan saya sepasang suami istri. Konsultasi tentang Amnesti Pajak. Bak seorang dokter, saya dan kawan-kawan lainnya sebagai petugas helpdesk memang ditugaskan melakukan diagnosa "penyakit pajak" yang diderita Wajib Pajak dan memberikan pilihan "pengobatan" yang tepat untuk mereka. Saya menyadari bahwa setiap opsi yang akan diambil oleh Wajib Pajak mempunyai konsekuesi bagi dirinya, sekecil apapun itu. Maka, saya, kami petugas helpdesk sebisa mungkin memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya.
Biasanya saya memulai dengan menanyakan NPWP dan lanjut pada pengecekan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak selama ini. Baru kemudian berlanjut pada penjelasan mengenai Amnesti Pajak dan bagaimana jika tidak mengambil opsi Amnesti dikaitkan dengan rekam jejak kepatuhan Wajib Pajak.
Ada juga seorang kawan yang memulainya dengan gaya seorang psikiater, "gimana ? jadi bapak mau cerita apa sekarang ? ayooo cerita aja saya dengarkan, jangan malu-malu." Biasanya Wajib Pajak yang diajaknya bicara jadi tertawa atau minimal tersenyum dan suasana menjadi cair. Wajib Pajak jadi tidak sungkan berbicara secara terbuka soal masalah perpajakan yang dihadapinya. Soal gaya sih asik-asik aja.
Sepasang suami istri ini mulai mendengarkan setiap penjelasan saya. Ibarat sepotong roti yang saya sodorkan, roti itu disuir-suir kemudian dilahap oleh keduanya secara bergantian dan saya balas dengan melihat mereka secara bergantian pula. Meski usaha kecil-kecilannya telah terdaftar sejak tahun 2012, mereka mengakui selama ini memang tidak pernah bayar pajak, tidak tahu bagaimana caranya, dan ketika dengar ada Amnesti langsung lari ke kantor pajak. "Kami harus bagaimana ?" begitu katanya. Seperti biasa, setelah menjelaskan saya memberi waktu kepada mereka untuk berfikir, "silahkan Bapak dan Ibu pikirkan dulu untung dan ruginya jika ikut Amnesti atau tidak." Di luar dugaan, sang suami yang sedang tadi berbicara tanpa menatap saya sedikitpun itu langsung nyamber, "Kami ikut Amnesti lah Bu. Kaya apa kami ini, sudah nggak pernah bayar pajak trus nggak ikut Amnesti juga". Oh baik Pak.
Semua proses ini dimulai dengan mengisi lebih dulu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2015 dan membayar pajak yang terutang. Ketika siap, SPT disodorkan oleh sang istri ke hadapan suaminya. Diambilnya pulpen yang saya sodorkan dan diiraihnya tangan suaminya itu. Pulpen diletakkan ke tangan suaminya dan tangan itu dibimbingnya untuk membubuhkan tanda tangan tepat di sudut kanan bawah formulir SPT. Saya tertegun.
Selesai mengisi SPT Tahunan mereka berdua pamit untuk menyampaikan SPT ke satgas SPT yang ada di ruangan lain. "Besok saya kembali lagi, sudah siap dengan daftar harta yang kami miliki. Tolong bimbing kami bagaimana cara membuat SPH ya Bu," kata sang istri. Saya mengangguk, "jika tidak ada saya disini petugas lain akan siap membantu Bapak dan Ibu. Saya bisa pastikan itu," jawab saya. Sang suami tersenyum. Mendengar istrinya telah berpamitan ia segera berdiri, tangannya mencari-cari pegangan yang seketika itu juga langsung disambut oleh sang istrinya.
Tangan lebut sang istri menuntun suaminya yang pelan-pelan meninggalkan meja saya, membuka pintu ruang Amnesti Pajak. Menuruni tangga. Mereka pergi. Keesokan harinya, meski tidak menemui saya lagi mereka datang memenuhi janji menyampaikan SPH.
Pontianak, 19 Maret 2017