Sore itu saya bersyukur sekali karena pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Pontianak tepat waktu. Dengan begitu saya akan tiba di Pontianak tidak terlalu malam dan saya tidak akan merasa bersalah jika tiba-tiba ingin makan malam.
Saya langsung duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada boarding pass. Sebuah kursi pada lorong pesawat. Dua menit berselang datang wanita setengah baya dengan sebuah tas besar, ia langsung menunjuk kursi di pinggir dekat jendela. "Silahkan," kata saya padanya. Saya berdiri dan memberinya jalan, sambil dalam hati sedikit 'ngiri' seandainya bangku di pinggir jendela Itu milik saya.
Buku yang saya bawa dari rumah masih terdiam di dalam tas. Saya memang berencana membukanya nanti setelah penumpang yang duduk di tengah-tengah antara saya dan wanita paruh baya itu datang.
Akhirnya yang saya tunggu datang juga, seorang pemuda tanggung dengan celana pendek dan headset menggantung di lehernya. Saya berdiri memberi jalan padanya, tapi dia bilang tempat duduknya bukan di tengah tapi di lorong yang saya tempati tadi. Alamaakk saya lirik wanita paruh baya di bangku dekat jendela, sialnya ternyata yang saya 'irikan' tadi sebenarnya adalah bangku saya. Jadilah saya kini yang terjepit di antara wanita paruh baya dengan tas besar di bawah kakinya dan anak muda tanggung bercelana pendek lengkap dengan headset di leher. Sempurna.
Pesawat take off. Kabin menjadi gelap gulita. Ketika pesawat telah berada di atas awan lampu kembali menyala. Saya meraba-raba tas mencari-cari kaca mata + 1,5 seharga 95 ribu perak yang saya beli 2 minggu lalu di pesawat dan sebuah buku karya Paulo Coelho. Saya mulai membaca. Satu persatu tulisan pendek penulis Brazil ini menghanyutkan saya, seperti sungai yang mengalir.
Konsentrasi saya terganggu dengan suara pelan setengah berbisik yang berulang-ulang. Saya cari-cari asal suara itu. Betapa kagetnya saya, rupanya wanita paruh baya di samping saya itulah sumber suara itu. Saya lihat dia, matanya terpejam, mulutnya komat kamit merapal untaian doa-doa (sepertinya), kedua telapak tangannya yang dikatupkan menggenggam sebuah kalung. Saya mencoba mencuri dengar doa-doanya, tapi sayang telinga saya tak sanggup menangkap bisikan lembut itu. Saya tersenyum sendiri. Saya biarkan ia berasyik masyuk dengan doa-doanya, karena pastilah dalam doanya ada saya di sana - dia pasti doakan keselamatan penerbangan kami petang itu.
Belum lagi mata saya kembali pada bacaan saya, di bangku seberang seorang lelaki juga komat kamit merapal serangkaian doa dengan gerakan yang saya hapal betul, dia sedang shalat. Lewat pandangan mata saya menitipkan doa melalui lelaki di seberang saya itu. Jam di tangan saya memang menunjukkan pukul 18.30 wib, waktunya shalat Maghrib.
Saya perhatikan sekeliling. Sekeliling saya tidak lah sunyi. Pramugari yang mondar-mandir menawarkan dagangan, dua abg di belakang saya yang sedari tadi berbincang sambil sesekali cekikikan dan anak muda dengan musik yang menyapa dari balik spons headsetnya adalah alasan sempurna untuk menggangu kedua orang itu berdoa. Tapi mereka tetap bergeming, tidak menyisakan sedikit pun ruang yang dapat menjadi penghalang antara mereka dengan Tuhannya. Mereka asik berkasih-kasihan dengan Tuhannya. Kiranya mereka tahu bahwa Tuhan berada di mana-mana dan untuk menemukan-Nya mereka tidak perlu masuk ke dalam bangunan buatan manusia.
Saya perhatikan sekeliling. Sekeliling saya tidak lah sunyi. Pramugari yang mondar-mandir menawarkan dagangan, dua abg di belakang saya yang sedari tadi berbincang sambil sesekali cekikikan dan anak muda dengan musik yang menyapa dari balik spons headsetnya adalah alasan sempurna untuk menggangu kedua orang itu berdoa. Tapi mereka tetap bergeming, tidak menyisakan sedikit pun ruang yang dapat menjadi penghalang antara mereka dengan Tuhannya. Mereka asik berkasih-kasihan dengan Tuhannya. Kiranya mereka tahu bahwa Tuhan berada di mana-mana dan untuk menemukan-Nya mereka tidak perlu masuk ke dalam bangunan buatan manusia.
Dalam penerbangan Jakarta menuju Pontianak samar-samar saya teringat pada berbait-bait puisi milik Emha Ainun Nadjib
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertemu
.....
Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedangkan masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab masjid ruh adalah semesta raya
......
*******
Belalang Sipit
Pontianak
26 April 2017
*******
Belalang Sipit
Pontianak
26 April 2017
2 comments
Write commentsTerus baca bukunya jadi apa enggak, Mbak? :D
ReplyJadi donk hehehe
Reply