Hujan lebat mengguyur Pontianak ketika saya tiba di Bandara Supadio. Butiran-butiran air dari langit menubruk dinding kaca ruang tunggu bandara, lalu meleleh seperti air mata sepasang kekasih yang disiksa rasa rindu. Waktu menunjukkan pukul 16.00 wib. Tiba-tiba seorang ibu dengan tiga anaknya yang masih balita mencolek lengan saya. "mau ke Jakarta juga ?" Saya mengangguk. Dia menunjukkan selembar boarding pass, menunjukkannya pada saya. "Saya baru pertama kali naik pesawat hanya bersama anak-anak, biasanya dengan suami. " Saya melihat ketiga anaknya yang masih balita, salah satunya mungkin baru saja bisa berjalan. "Penerbangan Ibu sama dengan sama. Belum ada pengumuman boarding, nanti kalau sudah ada saya beritahu ya." Si ibu sepertinya mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Dia tersenyum.
Saya mengalihkan pandangan ke arah pintu gate 3. Beberapa penumpang membentuk 2 baris memanjang berdiri di depan gate 3. Rasanya telinga saya belum tuli. Tidak ada terdengar pengumuman untuk segera boarding. Tapi tanpa pikir panjang saya beranjak dari kursi dan bergabung dengan barisan itu, begitu pula ibu di samping sama. Anaknya yang tiga orang mengekor di belakangnya. Satu menit kemudian berisan telah panjang seperti seekor ular kembar.
Sepuluh menit sudah kami berdiri, sebagian terlihat mulai gelisah. Barisan tidak juga beringsut maju. Saya tengok ke depan. Baaahh !!! pintu gate 3 ternyata masih tertutup rapat dan petugas penyobek boarding pass pun belum kelihatan. Saya tersadar telah terpedaya.
"Memang tadi dah ada panggilan boarding, Mbak ?"
"Kayanya sih belum. Saya belum dengar."
"Lah ngapain kita trus berdiri di sini ya. "
"Hehe iya ya. Habis tadi banyak yang sudah mulai baris sih. Saya sih ikut-ikutan saja."
Saya dan orang-orang dalam barisan itu telah dijangkiti apa yang disebut "bandwagon effect."
Eksperimen yang sama untuk membuktikan teori tersebut sebenarnya pernah saya lihat dalam acara Brain Games di National Geographic Chanel. Seseorang berdiri dalam sebuat garis antrian di sebuah mall, lalu diikuti orang lain dan jumlahnya terus bertambah padahal mereka tidak saling mengenal bahkan tidak mengetahui antrian tersebut untuk apa.
Sore itu saya membuktikan sendiri bagaimana teori itu bekerja.
"Bandwagon effect" adalah kondisi di mana orang-orang cenderung mengikuti perilaku, gaya, bahkan cara berbicara orang lain hanya karena semua orang melakukan itu. Efek bandwagon ini merupakan bagian dari bias kognitif yang dialami banyak orang secara bersamaan. Bias kognitif ini merupakan pemikiran yang dipengaruhi karena sesuatu tersebut dilakukan oleh orang banyak. Maka, tidak heran jika satu tren (contoh tren berbusana dan musik) atau perilaku tertentu bisa diikuti oleh begitu banyak orang.
Efek bandwagon ini juga sering terjadi karena kita cenderung ingin menjadi sama seperti banyak orang.
Apakah bandwagon effect dapat mempengaruhi sebuah sebuah proses perubahan ? Jawabannya adalah "ya"
Bandwagon effect sesungguhnya adalah sebilah pisau yang sangat tajam, kegunaannya bergantung pada siapa dan apa tujuan dari yang menggenggamnya. Dengan selalu memelihara pikiran positif, bandwagon effect adalah sebuah kabar baik dan senjata ampuh bagi sebuah proses perubahan. Dengan cara yang benar, Ditjen Pajak sebagai institusi yang sedang dalam proses perubahan dapat mengendalikan bandwagon effect dengan cara merangkul banyak sukarelawan sebagai agent of change. Dengan berpegang pada values organisasi, kamu dan mungkin juga saya sebagai penghuni rumah besar yang bernama Ditjen Pajak ini tentu dapat mengambil peran ini, peran sebagai pemantik api perubahan.
Belalang Sipit
11062017
1 comments :
Write commentssukur dofu - dofu atas diksi baru bagi saya "bandwagon effect".
Reply