"Aku... aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita." Suaranya sudah hampir tidak terdengar.
"Apa ?" Tanya Melisa
Iwan menggelengkan-gelengkan kepalanya lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.
"Mas Iwan ! Kau bilang apa tadi ?"
"Maafkan aku, Lis, maafkan aku !" Iwan cepat-cepat mengusap air mata yang mengambang di pelupuk matanya.
"Astaga ! Apa katamu ?" Tanya Malisa. Seluruh tubuhnya menggigil.
"Maafkan aku menyesal sekali harus menyakiti hatimu, tetapi aku terpaksa ... aku terpaksa meninggalkanmu," ulang Iwan.
Ahhh kasihan Melisa. Dia pasti patah hati ditinggal Iwan yang mesti menikahi Sumiarsih, wanita pilihan ibunya. S Mara GD memang apik kalo sudah meramu soal percintaan, Melisa 1: Di Ujung Harapan. Aku sama patah hatinya dengan Melisa sewaktu mendengar pramugari berbicara lewat pengeras suara, "para penumpang yang budiman, diberitahukan bahwa penerbangan kita sedang menghadapi cuaca buruk. Untuk sementara kita akan berputar-putar di atas kota Pontianak kurang lebih selama 30 menit."
"Astaga !! Apa katamu mbak pramugari ?"
Aku melirik jam di tangan, sudah pukul 19.30 wib, berarti pesawat ini sudah meninggalkan Jakarta 2 jam yang lalu. Kalau pesawat berniat berputar-putar di atas langit Pontianak selama 30 menit berarti total 2.5 jam di udara. Apa avtur cukup ? Aku langsung lemas. Jangankan memikirkan pesawat ini jatuh, membayangkankan bakal mampir ke Palembang saja rasanya bikin mulas.
Aku menutup buku yang sedari tadi ada di pangkuan, maaf Melisa, aku terpaksa meninggalkanmu, sama seperti Iwan. Mudah-mudahan kau mengerti.
Aku melemparkan pandangan ke jendela, di luar begitu pekat, bisa ku rasakan pesawat ini seperti dihimpit sesuatu. Langit Pontianak malam itu seperti wanita yang sedang hamil tua, panik, mulas, serba salah. Inginnya segara melahirkan. Tapi apa daya pembukaan tak kunjung bertambah, masih ajeg di pembukaan 5. Padahal ketuban sudah pecah. Air hujan menabrak kaca jendela, lalu meleleh seperti anak gadis yang sedang menangis. Air matanya membentuk anak sungai di pipinya yang mulus.
Pesawat terbang lebih rendah, menabrak awan. Turbulensi tak bisa dihindari. Kini pesawat naik perlahan. Aku bisa merasakannya, sekuat tenaga pesawat ini meliuk-liuk mencoba keluar dari situasi ini mirip seperti bayi mencari jalan lahir. Samar-samar aku mendengar suara ibuku membisikan asma Allah di telinga, tangannya erat menggengam tanganku di ruang persalinan waktu itu. "Ayo jangan teriak-teriak nggak keruan. Istighfar !! Sebut asma Allah. Astaghfirullah al azim. La illaha illalahu."
Aku kesakitan. Tanganku ada yang meremas. Ibu yang duduk di sebelahku menutup separuh wajahnya dengan kerudung, tangan kirinya meremas tanganku dan dari mulutnya lirih ku dengar asma Allah disebut berulang-ulang, "La illaha illalahu." Aku mengikuti suaranya kini. Kami bersahut-sahutan. Bapak di dekat jendela, ibu-ibu dan anak muda di bangku seberang mulai mengeluarkan lembar berisi doa-doa dari selipan bangku di depan. Mulut mereka mulai komat kamit. Aku pejamkan mata, tak kuasa melihat kilat menyambar-nyambar di luar jendela. Silaunya mirip lampu di ruang persalinan waktu itu.
Pembukaan tak kunjung bertambah, sementara air ketuban begitu deras. Hujan di luar jendela semakin lebat. Seperti baru saja dokter menambahkan obat induksi. Turbulensi semakin menggila. Ada waktu yang rasanya menghilang dan tidak bisa lagi ku ingat saat itu. Mataku semakin terpejam. Doa naik kendaraan aku ulangi lagi. Itulah 30 menit terlama dalam hidupku.
Ketika pilot akhirnya mengucapkan "...prepare for landing", aku seperti mendengar lagi suara cempreng Bu Bidan waktu itu yang teriak, "kepalanya sudah terlihat !" Aku melihat ibu di sampingku mulai terisak. Entah karena dia makin takut atau gembira mendengar pengumuman tadi. Tangis yang sama sulitnya yang ku maknai menetes dari mata bulat ibuku.
Lampu-lampu dari daratan Kota Pontianak mulai terlihat berkelap kelip. Cantik sekali. De javu, pada pesta perayaan kemerdekaan RI ke 50 kita juga begini. Kamu mungkin masih ingat ? saat itu tiap rumah wajib hukumnya memasang lampu flip flop alias lampu kelap kelip. Meriah sekali. Cuaca sudah membaik. Bahu sudah tampak, Bu Bidan membantu menarik si jabang bayi.
Dipeluk gerimis malam, ban pesawat akhirnya mencium landasan dengan mesranya, seperti aku padamu waktu itu, Nak. Aku hanya seorang ibu pada umumnya yang berada di ruang persalinan, cuma hamdalah yang terucap ketika kulitmu bersentuhan dengan udara, "alhamdulillah selamat !!"
Malam itu, dalam penerbangan 2,5 jam dari Jakarta menuju Pontianak.
Belalang Sipit
Pontianak
07082017
2 comments
Write commentsLuar biasaaaaaa...
ReplyDiksi indah bahkan atas sebuah kejadian yang tidak indah.
Makin keren, angkat aku jadi muridmu mbak
Reply