Peserta Pajak Bertutur SDN 03 Pontianak Kota |
Matahari
masih sibuk membangunkan Kota Pontianak, ketika kami sampai di halaman Sekolah
Dasar Negeri (SDN) 03 Pontianak Kota. Mendung sepagian ini memang lagi
manja-manjanya, menggelayut di bahu Kota Pontianak. Seorang wanita cantik
menyambut kami dengan ramah di muka sekolah, dia lah Ibu Suhadaniah. Ibu
Suhadaniah adalah Kepala Sekolah SDN 03 Pontianak Kota. Sekolah yang dipimpinnya menjadi salah satu
sekolah yang dituju oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pontianak untuk
menyelenggarakan kegiatan Pajak Bertutur.
Saya
membalas senyum manis dan juga jabat erat tangannya. Satu persatu anggota tim yang bertugas hari
itu memperkenalkan diri mulai dari Amanda, Dwi, Tiwi, Diah dan saya sendiri
Tuti, bersama Bang Gumay sang fotografer dan Bang Dede. Saya mengucapkan terima
kasih kepadanya karena Pajak Bertutur dapat terselenggara di sekolah ini.
Memang Pajak Bertutur adalah program dari pemerintah pusat melalui Ditjen
Pajak, tetapi tanpa ijinnya mustahil
kegiatan bisa diselenggarakan
di sini.
“Iya
Mbak, sama-sama. Saya juga senang akhirnya sekolah kami yang dipilih untuk
kegiatan ini. Anak-anak pasti suka,” ujarnya.
"Memperkenalkan
pajak sejak dini menurut saya baik dalam pembentukan karakter anak, Bu," kata Bu Suhadaniah.
Saya
tersenyum mengiyakan.
Poerwadarminta
mengatakan bahwa karakter berarti tabiat, watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain (Syarbini,
2012:13). Ibu Suhadaniah menyadari bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti, telah menegaskan bahwa kegiatan pembiasaan sikap dan
perilaku positif di sekolah yang disebut Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) bahkan harus dimulai sejak dari hari pertama
sekolah, masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah. Tujuannya
tidak lain untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik dan membentuk generasi
berkarakter positif. Memang PBP bukan lah beban guru semata-mata, siswa
dan tenaga kependidikan lainnya juga harus melakukannya secara konsisten
di sekolah. Namun, Ibu Suhadaniah karena kecintaannya pada anak-anak didiknya
mengambil alih peran sebagai leader
dalam PBP di sekolahnya.
Tidak
mengherankan jika Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kota Pontianak menjadikan sekolah yang dipimpinnya sebagai salah satu pilot project dalam program Pendidikan
Khatulistiwa Bersinar (PKB), sebuah program yang fokus pada bidang lingkungan
hidup. PKB adalah rangkaian dari Program
Clean & Green Equator City. Pembiasaan kepada anak-anak didik untuk
perduli pada lingkungan hidup lewat program ini membuahkan hasil yang
cemerlang. Tidak tanggung-tanggung pada tahun 2017 SDN 03 Pontianak kota
menyabet juara satu tingkat Kota Pontianak dalam lomba peneliti cilik dengan
eksperimen pemanfaatan barang bekas untuk perangkap nyamuk.
Itulah
juga sebabnya mengapa kami memilih sekolah ini untuk program Pajak Bertutur. Ibu
Suhadaniah memahami betul bahwa karakter kita terbentuk dari kebiasaan kita.
Kebiasaan kita saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua
bisa mempengaruhi baik atau buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka,
seperti juga disampaikan oleh Lickona (2012:50).
Kita
harus segera tersadar pada fakta bahwa saat ini pajak merupakan penyokong utama
pendanaan pada struktur APBN dan 20% dari APBN tersebut diperuntukkan bagi kemajuan
dunia pendidikan. Dengan pajak negara mempunyai kecukupan dana untuk melakukan
pembangunan sekaligus menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari
menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan sampai keamanan. Pemerintah tengah
berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran pajak melalui berbagai aspek,
utamanya pendidikan.Tujuan yang disandarkan adalah memperkenalkan pajak sejak
dini kepada para anak didik, dengan harapan kelak ketika mereka dewasa mereka
memiliki kesadaran untuk secara sukarela membayar pajak.
Pajak
Bertutur merupakan kick off dari
rangkaian Inklusi Kesadaran Pajak dalam dunia pendidikan. Unit kerja Ditjen
Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia mulai dari KPP, Kantor Pelayanan,
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) maupun Kantor Wilayah pada tanggal
11 Agustus 2017 di jam yang sama secara serentak melakukan kegiatan Pajak
Bertutur di sekolah pada seluruh jenjang pendidikan.
Pajak
adalah iuran rakyat kepada negara yang dilandasi oleh semangat
kegotongroyongan. Ada jutaan orang yang merelakan sebagian uangnya untuk
membiayai kelangsungan negara ini, sikap seperti itu mesti dicontoh. Banyak
nilai-nilai yang dapat dipetik dari penerapan pajak, semisal Pajak Penghasilan (PPh). PPh dikenakan berpegang pada prinsip keadilan
dimana mereka yang berpenghasilan tinggi akan dikenakan pajak lebih banyak dan
sebaliknya. Karenanya, dengan patuh membayar berarti kita juga telah membantu
saudara sebangsa yang tidak berpunya untuk dapat menikmati kebutuhan dasar yang
disediakan oleh negara. Seorang anak harus diajarkan untuk bangga ketika
melakukan suatu kebaikan, sekecil apapun itu. Lebih jauh di jaman modern
seperti sekarang ini, pajak merupakan bukti nasionalisme. Bukankah membentuk
anak dengan karakter yang baik seperti memiliki sikap kedermawanan,
kegotongroyongan serta rasa nasionalisme
juga tujuan dari pendidikan di sekolah?
Harapan
Ibu Suhadaniah kiranya sama dengan kami, semoga anak-anak suka dan menikmati
kegiatan ini. Kegiatan edukasi pajak ini diikuti oleh anak didik yang duduk di
kelas 4, 5, dan 6. Dikemas dengan banyak permainan interaktif berikut materi
yang telah disesuaikan sejalan usia anak
didik plus hadirnya maskot Ditjen Pajak si boneka Kojib menjadi alasan
keceriaan hadir hari itu. Maskot berbentuk Lebah ini sangat disukai oleh
anak-anak, apalagi Bang Dede (23 th) pegawai non organik di kantor kami, lelaki
langsing yang berada dalam kostum Kojib seorang yang sangat jenaka. Ketika si
Kojib memasuki ruang kelas suasana bertambah hangat. Anak-anak di dalam kelas
sebelumnya tidak mengetahui bakal ada boneka si Kojib, berteriak kegirangan.
Saya sungguh tidak bisa melupakan gelak tawa dan tatapan mereka saat
itu. Berhamburan mereka meminta untuk diabadikan di dekat di Kojib, Bang
Gumay sang fotografer sampai terpingkal-pingkal melihatnya.
"Abang
siapa namanya?" tanya saya sambil menepuk bahu maskot DItjen Pajak itu.
Dia yang saya tanya lantas menjawab, "Bang Dede." Kami yang bertugas
hari itu semua tertawa, tak terkecuali Ibu Suhadaniah. Kami tentu berharap
maskot DItjen Pajak itu akan menjawab bahwa namanya adalah KOJIB (KOntribusi
waJIB) bukan Bang Dede apalagi Bang Mamat. Sambil mendekat pada saya
boneka Kojib ini bisik-bisik, "saya kira nama saye yang ditanya. Salah
sebot pula."
Kontribusi
wajib ape pula tuh, Bang?" tanya Amanda. "Pajak lah,”
sahut Bang Kojib
Sebuah
hasil temuan riset Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP-UI, menyatakan masih
terdapat kesulitan dari siswa dalam memahami materi perpajakan. Padahal yang
diriset adalah anak-anak sekolah menengah atas, yang asumsinya seharusnya
mereka bisa lebih mudah memahami substansi perpajakan. Dalam penelitian
tersebut, baik siswa IPS dan IPA maupun kejuruan ditemukan bahwa ” ....
sebagian besar siswa belum memahami urgensi pemungutan pajak. Siswa juga belum
memahami bahwa penerimaan yang berasal dari pajak dialokasikan untuk
kepentingan masyarakat termasuk manfaat tidak langsung yang dirasakan oleh
siswa” (Titi Muswati Putrani dan Maria Tambunan: 2013). Hasil riset itu dikutip
oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta, dalam tulisannya yang dimuat di harian Media Indonesia tanggal
25 Maret 2013, berjudul "Pajak
dan Pendidikan."
Sudah
empat tahun berselang sejak riset tersebut dilakukan. Mestinya kita telah
banyak belajar dari fakta tersebut. Bisa jadi hari ini menjadi sebuah kabar
baik bagi kita semua. Hati saya sungguh senang bukan kepalang, ketika tidak ada
satupun jawaban mereka yang meleset sewaktu saya bertanya “uang pajak buat apa?”
“Buat
bangun sekolah.”
“Buat
beli pesawat tempur tentara.”
“Buat
bangun Jembatan Tayan. Ya kan, Kak ?”
“Betul
begitu ke Bang Kojib ?” tanya saya
“Betol lah. Pajak buat bangun sekolah,
bangun jalan, bangun jembatan, bayar gaji guru. Ape nak jadi kalau tak ade uang pajak ni. Tak bise lah sekolah
budak-budak ni. Tak bise Kalimantan
Barat punye jembatan elok macam to. Tak bise tak bise," jawabnya
sambil menunjuk anak-anak yang terpukau melihat aksinya. Anggukan kepala
memenuhi ruangan tanda setuju.
Jembatan
Tayan adalah jembatan terpanjang ketiga di Indonesia setelah Jembatan Suramadu
di Jawa Timur dan Jembatan Surapati di Bandung. Jembatan Tayan terletak di
barat Pulau Kalimantan menghubungkan poros selatan
Trans-Kalimantan yang terputus oleh Sungai Kapuas di Kecamatan Tayan Hilir. Jembatan
kebanggaan warga Kalimantan Barat ini menjadi pelengkap ruas jalan yang
menghubungkan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur. Semua jembatan itu dibangun dari uang pajak
yang dibayar masyarakat. Soal bagaimana pajak itu mendatangkan manfaat,
saya memberikan panggung pada Jembatan Tayan
biarlah ia saja yang bertutur.
Banyak
yang kami tanyakan kepada anak-anak terkait dengan pajak dan mereka berebut
untuk menjawabnya.
Anak-anak semangat menjawab pertanyaan |
“Ada
yang tahu siapa yang wajib membayar Pajak Penghasilan?” tanya Tiwi
Seorang
anak laki-laki yang duduk paling belakang mengacungkan jarinya dan
berteriak,”yang punya mobil, Kak!”
“Yang
sudah punya gaji,” anak yang lain menyahut.
“Kalau
kita parkir di mal juga bayar pajak, kan Kak?” anak perempuan cantik yang duduk di meja paling depan malah balik
bertanya pada saya.
Meski
tidak betul-betul tepat, namun secara substansi tidak ada yang meleset. Bagi
orang yang memiliki kendaraan bermotor tentu ada pajak yang harus dibayar,
namanya Pajak Kendaraan Bermotor. Sementara jika kita ke mal dan membayar uang
parkir, pembayaran itu disebut retribusi.
Pajak Kendaraan Bermotor dan retribusi termasuk dalam pungutan dalam
kategori Pajak Daerah yang kewenangan pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah.
Lalu siapa kami? Kami,
Ditjen Pajak adalah institusi yang diberi amanah dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengumpulkan pajak
dari masyarakat. Pajak yang kami pungut dikenal dengan sebutan Pajak Pusat yang
terdiri dari PPh, Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan dan
Pertambangan (PBB P3), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM).
Program
Edukasi Kesadaran Pajak dalam Sistem Pendidikan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 dimulai dengan
terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/KMK.01/2014 tentang Cetak Biru
Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014 - 2025. Pada
saat ini setidaknya di tingkat SD untuk anak didik yang duduk di kelas III
SD/MI materi pajak telah masuk dalam buku pelajaran IPS yang berjudul "Aku dan Lingkunganku."
Bahan ajar ini sebagai
bahan pembelajaran bagi anak didik dan bahan pengayaan bagi guru dalam menyampaikan
materi kesadaran pajak kepada anak didik.
Saya
dan Ibu Suhadaniah saling beradu pandang. Mata kami berbinar-binar karena
senang. Bagaimana tidak, apa yang kami tuturkan siang itu mengenai pajak dapat
mereka ingat. Pada akhir sesi kami melakukan sebuah permainan yaitu menyusun puzzle huruf membentuk sebuah kalimat.
Kurang dari lima menit mereka sudah bisa menyusun huruf-huruf menjadi sebuah
kalimat, tentu kalimat yang dimaksud semuanya berkaitan dengan pajak.
Dengan
telaten mereka bahu-membahu menempelkan huruf-huruf pada selembar kertas
karton. Tidak dirasa keringat menetes dari kening mereka. Mereka tetap
semangat. Pada bagian ini sebesarnya kami sekaligus ingin mendapatkan
kesimpulan apakah kegiatan Pajak Bertutur hari ini dipahami oleh anak-anak.
Nyatanya dugaan saya benar adanya.
Anak-anak didik dalam permainan puzzle |
Ketua
Kelompok D menghampiri kami para pengajar, mengangkat tinggi-tinggi karton yang
mereka genggam. Dapat saya baca sebuah kalimat ‘Bangga Bayar Pajak’ di atasnya,
sebangga mereka karena menjadi kelompok yang pertama menyelesaikan tugas itu.
“Kami
sudah, Kak!” ketua kelompok A berteriak. Sebuah karton bertuliskan ‘Bayar Pajak
Keren’ mereka angkat tinggi-tinggi. Lalu mereka bersorak-sorak.
Kelompok
C tidak mau kalah, buru-buru mereka menyodorkan karton yang sudah ditempeli
huruf-huruf bertuliskan ‘Pajak Membangun Bangsa’.
Kelompok
B dan E bersamaan menyelesaikan tugasnya. Masing-masing membaca dengan keras
tulisan pada karton yang mereka pegang ‘Pajak Milik Bersama’ dan yang terakhir
‘Anak SD Kenal Pajak’.
Puzzle hasil karya anak-anak didik |
Puzzle hasil karya anak-anak didik |
Ibu
Suhadaniah serta kami tim Pajak Bertutur dari KPP Pratama Pontianak hanyalah
bagian kecil dari mereka yang tengah berupaya menjadikan pajak sebagai sebuah
kesadaran baru bagi para pemilik negeri ini kelak untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa. Anak-anak didik di SDN 03
Pontianak Kota, merekalah sekian dari sekian banyaknya sang pemilik negeri ini
kelak.
----
Tuti Ismail
Pontianak
13/10/2017
2 comments
Write commentsProgram membangun kesadaran pajak memang perlu ditanamkan sejak dini melalui berbagai aktifitas pendidikan yang menarik. Semakin menarik, semakin banyak kesadaran yg terbangun. Semoga sukses membangun karakter penerus bangsa yg sadar pajak. Namun penting juga memberi pendidikan tentang manfaat apa saja yg bisa diperoleh dg membayar pajak, sehingga sedikit banyak akan membangun pula kesadaran untuk mengelola apapun aset yg dimiliki dan dinikmati.
ReplyMantap Mbak...lanjutkan perjuanganmu #jempol
Reply