Pagi tadi (19/11) saya "terjebak" di antara para mahmud alias mama muda yang cantik-cantik. Memenuhi ruang pertemuan Dinas Pendidikan Pemprov Kalbar, para mahmud ini belajar mendongeng. Pun demikian dengan saya, meski entah kapan ilmu yang didapat akan dipraktekkan. Simpan saja dulu. Di pangkuan para ibu, dan sebagian di dalam gendongan para ayah anak-anak belajar mendengarkan dongeng.
Seperti disampaikan Schank (1999) "human memory is story-based", karenanya mendongeng adalah salah satu teknik komunikasi yang efektif.
Dalam hati saya mbatin, ibu-ibu jaman sekarang luar biasa banget semangat belajarnya. Beda sama saya jaman dulu. Jangankan soal beginian, semangat memberi ASI jauh lebih bagus sekarang.
Seorang pendongeng dari Kampung Dongeng (Singkawang), Kak Ega hadir sebagai narasumber. Tentukan tema, jalan cerita, konflik dan penutup. Agar dongeng pada anak usia dini efektif, jangan lupa untuk menggunakan intonasi suara yang tepat dan alat bantu yang menarik, seperti boneka atau musik.
Sebenernya saya mau mlipir, trus keluar kalau saja Kak Ega nggak keburu bilang dongeng tidak mengenal usia. Anak saya kan dah bujangan. "Anak SMA pun bisa didongengin," kata Kak Ega. "Perbedaan dongeng untuk orang dewasa dan anak-anak terletak pada temanya."
"Great marketers tell stories we believe” –Godin (2009). Sebagai bukti bahawa dongeng atau story telling adalah teknik komunikasi yang efektif, saya jadi teringat dongeng atau story telling kerap disajikan untuk konsumsi orang dewasa dalam lewat dunia periklanan. Lihatlah iklan Indomie yang mahsyur di tahun 2011 dengan tema "cerita Indomie". Hingga sebuah survei yang dilakukan beberapa lembaga riset pemasaran (SITTI, Majalah SWA, dan OMG Consulting), pada 2011 menobatkan Indomie sebagai merek mie instan yang paling banyak dibicarakan di media sosial.
Adalah Institut Ibu Profesional (IIP) Kota Pontianak yang menyelenggarakan kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Ayah.
Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seorang guru yang berilmu dan berakhlak baik tentu akan menghasilkan anak-anak yang baik pula. Apalagi menjadi seorang ibu (guru) adalah pekerjaan sepanjang hayat mengadung badan. Tanpa hari istirahat, tanpa hari libur. Maka, sebagai sebuah profesi yang mulia seorang ibu mestilah profesional. Tidak ada pilihan lain kecuali terus meningkatkan kualitas diri.
Didasari oleh kesadaran ini lah kemudian Septi Peni Wulandari dan sang suami, Dodik Mariyanto, mendirikan komunitas IIP di Salatiga. Setelah setahun berkegiatan offline, dia mulai merambah online pada 2012. Artinya, para member dapat belajar soal parenting secara online seperti cara komunikasi produktif.
Komunitas ini pernah diulas oleh Harian Jawa Pos (03/05) dengan tone yang positif. Perkembangan IIP sangat pesat dengan member tersebar di 40 kota Indonesia dan beberapa negara lainnya. Di antaranya, Singapura, Malaysia, dan Korea. Ada pula kumpulan ibu-ibu di Mesir, Arab Saudi, Dubai, dan beberapa negara di Eropa.
Fakta ini adalah harapan. Bangsa kita diwariskan pada orang-orang yang tepat. Anak-anak di bawah pengasuhan para profesional. Di dalam pelukan doa-doa dan kehangatan cinta kasih yang tak terbatas. Di tangan hangat ibu mereka sendiri.