Tahun ini tak terbilang beratnya bagi Andin. Terpekur ia di hadapan jenazah ibunya. Senyum
tipis ibunya tak kunjung membuat wajahnya memerah. Wajahnya pucat pasi. Air matanya berhenti
mengalir. Meski begitu aku tahu hatinya mengecil. Kering dan gersang. Kalau kau ingin tahu, sebetulnya kesedihan akan kehilangan ayahnya sembilan bulan lalu
belum pulih benar. Ketika
ayahnya berpulang aku menyaksikannya terkapar di sudut ring. Ringsek. Babak belur. Hatinya patah. Sialnya
tidak ada yang pernah mengajarinya soal patah hati. Ayahnya adalah cinta yang
tak terucapkan. Cinta
seorang anak perempuan. Susah
payah dia mencoba bangkit. Menggapai-gapai.
Meraih tangan
ibunya yang mulai lemah.
Baru dua bulan belakangan Andin berhasil
menguasai diri. Menguasai
matanya yang kerap meluapkan air mata tanpa sebab tiap
kali burung besi membawanya terbang meninggalkan Jakarta. Aku melihat Andin terkapar di ring yang
sama. Andin sepupuku yang
ceria itu kini hatinya tidak lagi hanya patah, tapi hancur berkeping-keping.
Tidak ada yang lebih pilu dari ditinggal pergi kedua orang tua.
“Tidak boleh kah aku pinjam milik-Nya barang
sebentar, In ?” isaknya di telingaku.
Aku peluh ia erat-erat.
“Tidak akan pernah ada kata sebentar, Din. Berapa pun waktu yang diberikan tidak akan pernah cukup untuk bersama orang yang kita
cintai. Istighfar. Ikhlaskan lah. Semua yang hidup pasti akan
mati, kita pun akan menyusul. Entah kapan,” lirih aku membalasnya. Bagai bunga Putri Malu, Andin layu mendengar ucapanku.
Aku tahu persis selepas kepergian ayahnya
tidak pernah satu kali Sabtu dan Minggu yang ia lewatkan tanpa ada ibu di
sampingnya. Seandainya ibunya dapat ia lipat dan masukkan dalam sakunya, pasti akan
dilakukannya. Dibawa serta, pergi mengadu nasib nun jauh di sana. Kepergian
ayah dan ibunya yang seperti tanpa jeda menimbulkan tanya besar di dirinya. Sebuah tanya yang menyesakan dada itu tak perlu dijawab. Andin pasti tahu semua jawabannya. Seberapapun eratnya ia genggam kedua
tangan ayah dan ibunya, mereka tetap akan pergi. Jika sudah waktunya, semua
akan kembali pada-Nya tidak ada yang bisa menghalangi. Tidak Andin. Tidak aku.
Tidak seluruh alam semesta ini.
“Sekarang, apa yang harus aku lakukan, In
?”
“Kau anak shalehah, Din,” Andin melirikku.
“Ingat, cuma Kau seorang yang bisa mengingat doa masuk masjid selepas Ustadz Riza selesai mencontohkannya. Aku
?” bisikku sambil mengangkat bahu. Andin menyikut lenganku. Aku teringat
sewaktu kami sama-sama sekolah di ibtidaiyah dulu, Andin satu-satunya murid
yang paling cepat dan tentu
saja paling banyak hapalan doanya.
“Berdoalah untuk kedua orang tuamu. Merintih lah padanya. Allah pasti akan mendengar. Insyaallah,”
aku genggam tangannya.
Ku pandangi matanya, ada setitik cahaya di sana. Kecil dan jauh. Sungguh aku ingin
memulangkan kembali cahaya itu ke
asalnya.
Aku sandarkan punggungku ke kursi, pelan ku ceritakan apa yang dilakukan mamaku dulu sepeninggal papa. Mungkin ceritaku ini akan ada faedahnya.
“Selepas papa
pergi, saban bulan mama
mengajakku bergantian mengunjungi sahabat dan kerabat ayahku. Mama membawa buah tangan yang sering dibawakan papaku
dulu jika menjumpai mereka.” Kebiasaan aku dan mamaku itu masih berlangsung
hingga kini meskipun dengan frekuensi yang tidak lagi sama, padahal papaku yang
juga kakak ayah Andin telah berpulang delapan belas tahun yang lalu. Pernah ku tanya mama untuk apa semua itu
dilakukannya. Kau tahu apa jawabnya waktu itu,”mama ingin papa tetap hadir di
antara kita lewat cerita sahabat dan kerabat yang papa sayangi. Kau bisa
mengenal dan mencintainya seperti papa mencintaimu.” Aku rasa mama ada
benarnya, sewaktu papa pergi umurku baru lima tahun dan sedikit sekali yang aku
ingat tentang papa. Sahabat dan kerabat papa terus memelihara cerita baik
tentangnya selepas papa pergi. Boleh dibilang aku tumbuh dengan kasih sayang
papa lewat cerita mereka dan aku merasa papa tidak pernah pergi dari hidupku. Terlebih
aku melihat kesedihan mama berangsur terobati.
Belakangan aku
mulai mencari tahu sebab-sebab kebiasaan mamaku dulu itu. Aku membuka gallery foto di handphone, aku tunjukkan pada Andin sebuah foto dari catatan kecil
di buku harian mama tertanggal 21 Mei 2000.
Mas, meski kau telah berpulang aku berjanji akan
mendidik Iin menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Pada mu Mas.
Aku akan menghadirkanmu selalu dalam hidupnya. Aku janji.
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang
paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya, setelah
ayahnya meninggal.” (HR. Muslim no. 2552)
----
Tiga bulan
kemudian setelah hari itu,
aku melihat cahaya di mata Andin yang dulu redup mulai bersinar kembali.
Kami saling berpelukan,“terima
kasih, In.” Aku tersenyum.
Minggu lalu
ketika pulang ke Jakarta, Andin menjumpai Pak Parman dan Bu Parman, sahabat
ayah dan ibunya.
“Menjelang
Ramadhan begini Bapak semakin merindukan ayahmu. Tidak ada lagi yang menanyakan
sudah tadarus sampai juz berapa ? Biasanya kami berdua berlomba-lomba khatam Al
Qur’an, Din. Ayahmu itu cepat sekali mengajinya. Bapak selalu kewalahan. Ayahmu
tidak pernah tidur selama Ramadhan ya ?” Pak Parman memecah kesunyian. Sekarang
giliran Bu Parman,“lihat ini, Din. Buku yasinan empat puluh hari ayahmu. Bapak
menggunting foto ibumu dan menggabungkannya dengan foto ayahmu. Biar gampang
katanya kalau setiap malam Jum’at mengirim doa untuk mereka berdua,” Bu Parman
menunjukkan buku yasinan sewaktu memperingati empat puluh hari ayah Andin dulu.
Andin membeku.
“Sebulan sebelum
ibumu pergi, hampir setiap hari kami bertukar cerita. Kadang ibumu yang datang
ke sini. Bertukar masakan juga. Apa saja, Din. Kadang cuma bertukar sayur asam
dan tumis peda.”
“Semoga
Allah ridha padamu, Din.”
Kepala Andin tertunduk dalam. Di matanya ada bola-bola air mata yang siap tumpah. Ada yang mengiris-iris sesak di dadanya. Perih rindu ini tak akan pernah terobati. Pun begitu, cerita hari dari sahabat ayah ibunya seperti titik-titik air yang membasuh lukanya. Menguatkan kakinya yang patah untuk membali melangkah.
----