Simplifikasi Regulasi Pajak Untuk UMKM
Sebagai alat untuk mengisi pundi-pundi kas negara
secara optimal (fungsi budgetair),
pajak mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai alat untuk
mendorong tercapainya kebijakan lainnya yang tengah dijalankan oleh Pemerintah (fungsi regulered) tidak terkecuali
kebijakan terkait UMKM. Dalam kaitannya dengan kedua fungsi tersebut Pemerintah
melakukan reformasi
perpajakan sebagai bagian dari upaya mencapai kemandirian bangsa. Williamson dalam Mas’oed (1994), reformasi perpajakan meliputi
perluasan basis pajak, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya
penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan pajak pada asset
yang berada di luar negeri.
Badan
Pusat Statistik mencatat jumlah UMKM mencapai 57,9 juta atau 99,99 % dari total
unit usaha. Kontribusi pada PDB meningkat dari 59,8% pada tahun 2012 menjadi
60,34% di tahun 2013. Sampai dengan tahun 2013 UMKM bahkan mampu menyerap 114,1
juta tenaga kerja atau sebesar 96,99 % dari total tenaga kerja yang bergerak
UMKM maupun Usaha Besar.[1] Melihat peran UMKM
terhadap perekonomian nasional maka pilihan untuk senantiasa menyempurnakan administrasi
perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan melalui perbaikan regulasi
serta proses bisnis terkait perpajakan UMKM adalah sebuah langkah yang tepat.
Pada
tahun 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 untuk pertama kalinya
Pemerintah menerbitkan regulasi perpajakan yang secara khusus yang
menyederhanakan cara penghitungan dan pembayaran pajak bagi UMKM. Berdasarkan PP 46 Tahun 2013,
UMKM dikenakan tarif PPh khusus yaitu sebesar 1% dan bersifat final. Berbeda
dengan kriteria UMKM sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah, PP 46 membatasi pelaku UMKM
pada pendekatan peredaran bruto maksimum sebesar 4,8 milyar dalam satu
tahun pajak. Secara nasional perkembangan jumlah wajib pajak dan penerimaan
dari PPh Final yang terkumpul dari wajib pajak UMKM terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2016 jumlah wajib pajak UMKM tercatat sebanyak 1045
dengan jumlah PPh sebesar Rp4,4 trilyun. Sementara itu di tahun 2017 jumlah wajib pajak UMKM sebanyak 1473 dengan
PPh terkumpul Rp5,7 trilyun atau mencapai 2,2% dari total penerimaan PPh yang
dibayar sendiri oleh wajib pajak.
Berangkat dari hal tersebut dan merespon kondisi perekonomian terkini, Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor
23 sebagai pengganti PP 46 tahun 2013. Beleid
yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2018 tersebut menurunkan tarif PPh Final UMKM
dari semula 1% menjadi 0,5% juga lebih menyederhanakan administrasi perpajakan
bagi UMKM. Penulis mencatat
melalui PP 23 Pemerintah telah berupaya keras untuk memasukkan beberapa poin
penyederhanaan administrasi perpajakan bagi UMKM.
PPh yang Bersifat Final
PPh
yang dikenakan kepada wajib pajak UMKM adalah bersifat final. Secara sederhana
PPh yang bersifat adalah PPh dihitung dengan cara mengalikan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) atas penghasilan yang yang diterima atau diperoleh wajib pajak
selama tahun berjalan dengan tarif PPh tertentu. Pembayaran, pemotongan atau
pemungutan PPh Final yang dipotong pihak
lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh
terutang (dikenal dengan nama kredit pajak) akan tetapi merupakan pelunasan PPh
terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah
melakukan pelunasan kewajiban pajaknya pada tahun pajak yang bersangkutan. PPh
yang harus dibayar terutang untuk setiap masa pajak, misalkan peredaran usaha
pada bulan Mei Rp50.000.000,00 maka PPh yang harus dibayar sebesar 0,5% dari
Rp50.000.000,00 atau sebesar Rp250.000,00.
Jika wajib pajak UMKM dalam satu tahun pajak semata-mata menerima atau
memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final, maka dalam pelaporan SPT Tahunan PPh hanya
melaporkan penghasilan berikut PPh final yang telah dibayar / dipotong.
Kriteria Wajib Pajak
yang Dikecualikan
Waluyo
(2011) menjelaskan bahwa asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun dalam hal
pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif.[2] Penerapan penghitungan PPh final pada
satu sisi memang menimbulkan issu adanya pelanggaran pada asas keadilan
vertikal, karena wajib pajak tanpa melihat jumlah penghasilan menanggung beban
pajak dengan tarif yang sama. Pun demikian, jika ingin berhitung, pada sisi
yang berbeda penerapan PPh final mempunyai dua keunggulan pada adanya
kesedernaan dalam penghitungan pajaknya dan memenuhi asas keadilan horizontal
karena wajib pajak dengan kondisi yang sama (menerima dan memperoleh
penghasilan) dikenai pajak yang sama.
Pengaturan subjek pajak yang tidak dapat mengimplementasikan PPh final
UMKM tersebut di atas jelas ingin menangkis issu ketidakadilan vertikal sekaligus
mengedepankan prinsip pemajakan seperti dikemukakan oleh Adam Smith dalam
bukunya Wealth of Nation seperti
prinsip kenyamanan (conveniance),
karena pada awal penerapannya wajib pajak diberi kebebasan untuk memilih jika
menghendaki menghitung PPh dengan rezim tarif umum. Kriteria wajib pajak yang
tidak dapat mengiplementasikan penghitungan PPh final UMKM dengan tarif 0,5%
lebih sederhana, yaitu terbatas pada:
1.
Wajib
pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a UU PPh; dan
2.
Persekutuan
komanditer atau firma yang dibentuk oleh wajib pajak orang pribadi yang
memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejesnis dengan jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas;
3.
Wajib
Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pasal 31A UU PPh dan PP 94; dan
4.
Bentuk
Usaha Tetap.
Langsung Dapat
Diimplementasikan
Berbeda
dengan aturan sebelumnya yang mewajibkan wajib pajak baru yang memperoleh
penghasilan dari usaha dalam tahun berjalan menghitung PPh dalam tahun berjalan
dengan rezim tarif normal (angsuran PPh Pasal 25), penerapan tarif pajak 0,5%
dan PPh final dapat langsung diterapkan kepada wajib pajak sepanjang tidak
termasuk dalam wajib pajak yang dikecualikan. PP 23 langsung dapat diterapkan
sejak wajib pajak terdaftar. Demikian pula untuk wajib pajak yang terdaftar
sebelum berlakukan PP 23, sepanjang tidak termasuk wajib pajak yang
dikecualikan dan memiliki peredaran usaha di tahun pajak 2016 di bawah Rp4,8 milyar
maka pada tahun pajak saat berlakunya PP 23 langsung dapat mengimplementasikan
aturan tersebut.
Ketegasan
mengenai kapan mulai PP 23 dapat diimplementasikan jelas memberikan kepastian
bagi wajib pajak (certainty) dan sejalan dengan simplifikasi yang ingin
dikedepankan oleh aturan yang satu ini.
Sebagai
penutup Penulis ingin mengutip apa yang disampaikan Widodo
(2010) menyatakan bahwa administrasi perpajakan perlu dilakukan penyederhanaan
sehingga memberikan kemudahan dan akan mampu mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak.[3] Penurunan
tarif yang diikuti dengan penyederhanaan
administrasi perpajakan bagi UMKM sebagaimana tertuang dalam PP 23 diharapkan
dapat mendorong semakin banyak wajib
pajak yang berkontribusi pada penerimaan negara sekaligus sebagai stimulus yang
dapat menggairahkan perekonomian nasional.
----
[1] http://www.depkop.go.id/pdf-viewer/?p=uploads/tx_rtgfiles/sandingan_data_umkm_2012-2013.pdf
[2] Waluyo.
2011. Perpajakan Indonesia. Buku satu. Edisi Sepuluh. Salemba Empat. Jakarta.
[3] Widodo,
W. 2010. Moralitas, Budaya dan Kepatuhan
Pajak. Alfabeta. Bandung
Artikel telah dimuat di http://www.pajak.go.id/article/simplifikasi-regulasi-pajak-untuk-umkm