Outlook APBN 2018, penerimaan perpajakan masih mendominasi sumber pendapatan (85,4%) dalam struktur APBN 2018. Pendapatan negara dalam APBN 2018 ditargetkan mencapai Rp1.894,7 trilyun, dengan rincian sebesar Rp1,2 trilyun berasarl dari penerimaan hibah, PNBP Rp275,4 trilyun dan penerimaaan perpajakan Rp1.618,1 trilyun (PPh Migas Rp38 trilyun, Pajak Non Migas Rp1.385,9 trilyun serta Kepabeanan dan Cukai Rp194,1 trilyun). Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan masih akan memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan pajak (PPh Rp855,1 trilyun, PPN Rp541,8 trilyun, PBB Rp17,4 trilyun, Pajak Lainnya Rp9,7 trilyun, Bea Masuk Rp35,7 trilyun, Bea Keluar Rp3,0 trilyun dan Cukai Rp155,4 trilyun). Target penerimaan perpajakan yang tumbuh sekitar 9% dari outlook tahun 2017 serta tax ratio (tax ratio dalam arti sempit) sebesar 10,9% diharapkan dapat tercapai melalui perbaikan sistem investasi dunia, usaha termasuk pemberian insentif dan mengoptimalkan potensi ekonomi dan langkah reformasi perpajakan.
Kita
semua sama-sama mahfum bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama dalam
realisasi penerimaan pajak. Menuju terealisasinya penerimaan pajak sesuai
target, beberapa sasaran kinerja telah ditetapkan oleh Ditjen Pajak antaranya
adalah rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang
tinggi. SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam
sistem perpajakan self assessment
tingginya kepatuhan formal penyampaian SPT akan mempeluas basis pajak dan
menjadi dasar atau pijakan dalam mencapai kepatuhan material yang diharapkan. Diharapkan kenaikan kepatuhan (formal) Wajib
Pajak akan berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak.
Berikut
adalah data rasio kepatuhan (kepatuhan formal) penyampaian SPT Tahunan
sebagaimana tertuang dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Tahun 2016[1]
Dari
data di atas, terlihat bahwa kepatuhan Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan
(manual dan elektronik) terus meningkat (kecuali pada tahun 2014 meski jumlah SPT
Tahunan yang disampaikan meningkat, capaian rasio kepatuhan lebih rendah dari
tahun 2013).
Sementara
itu, untuk kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Elektonik Tahun 2014 – 2016
adalah :
Peningkatan
jumlah SPT Tahunan Elektronik dari tahun ke tahun didorong oleh satu suaranya
Pemerintah yang mewajibkan ASN/TNI/POLRI sejak tahun pajak 2015 untuk
melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi secara elektronik baik melalui efiling.
Hal ini ditandai dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Menpan RB) Nomor 8 Tahun 2015.
Terdapat
beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Salah satunya oleh Indar Khaerunnisa dan
Adi Wiratno. Keduanya membuktikan bagaimana moralitas pajak, budaya pajak dan good governance mempunyai pengaruh pada
kepatuhan Wajib Pajak[2]. Hasilnya menunjukkan
ketiga faktor tersebut mempunyai pengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak, dengan
penekanan bahwa penerapan good governance dapat terlaksana dengan
baik dengan dukungan dari sumber daya manusia dan teknologi informasi yang
mendukung terbentuknya sistem administrasi modern.
Dengan berubahnya sistem perpajakan di Indonesia dari official assessment menjadi self
assessment di tahun 1984, maka tugas
administrasi perpajakan juga mengalami perubahan. Ditjen Pajak yang menjalankan
tugas administrasi perpajakan dituntut untuk berperan aktif dalam
melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi
tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi
administrasi.
Gayung
bersambut, terhitung sejak 2016 Kemenkeu
telah berikhtiar melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh yang ditandai
dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016 tentang
Pembentukan tim Reformasi Perpajakan. Satu dari lima pilar perubahan yang
disasar adalah transformasi pada teknologi informasi dan basis data dengan
memastikan sistem informasi teknologi dan basis data yang andal, mendukung
proses bisnis Ditjen Pajak dan menghasilkan output yang akurat dan kredibel.
Kembali
kepada upaya menggenjot kepatuhan Wajib Pajak, salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan meningkatkan efisiensi administratif dengan mengurangi beban
kepatuhan Wajib Pajak, misalkan dengan menciptakan administrasi perpajakan yang sederhana dan mudah untuk
dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Kabar baiknya, perkembangan reformasi
perpajakan mencatat pada kuartal pertama 2017 Ditjen Pajak, Bidang
Teknologi Informasi, Basis Data dan Proses Bisnis telah berhasil meluncurkan prepopulated SPT Tahunan Orang Pribadi
Karyawan.
Prepopulated
Tax Return (SPT Tahunan siap saji)
Pada
awal tahun 1988 Denmark mulai terlibat dalam pengembangan model prepopulated tax return dan terus
mengembangkannya selama tahun 1990-an. Di beberapa negara prepopulated tax return dikenal juga dengan nama pre-filed
tax return atau tax proposal. Negara
yang tercatat menerapkan sistem ini adalah Denmark, Estonia, Finlandia,
Islandia, Norwegia, Swedia, Chili, dan Spanyol.[3] Prepopulated tax return atau SPT Tahunan saji (dalam tulisan ini
agar lebih akrab saya akan menggunakan istilah SPT Tahunan siap saji) adalah SPT
Tahunan yang disiapkan oleh administrasi perpajakan untuk Wajib Pajak. Untuk
mempersiapkan SPT Tahunan siap saji, administrasi perpajakan menggunakan
informasi dari data-data yang dimiliki dan juga informasi dari pihak ketiga.
SPT Tahunan siap saji mencakup semua informasi yang relevan dengan Wajib Pajak
seperti identitas Wajib Pajak, penghasilan bruto, jumlah pajak yang telah
dibayar, pengurang penghasilan (contoh Penghasilan Kena Pajak / PTKP), kredit
pajak hingga jumlah penghasilan yang menjad dasar penghitungan pajak.
Seperti
telah dikemukakan di atas, sumber data SPT Tahunan siap saji berasal dari pihak
ketiga. Untuk dapat masuk sebagai data dalam SPT Tahunan siap saji Orang
Pribadi Karyawan, Pemberi Kerja terlebih dahulu harus melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 secara elektronik untuk Masa Pajak Desember (termasuk Formulir
1721-I) secara benar dan tepat waktu. Oleh karena SPT Tahunan siap saji yang
dirilis oleh Ditjen Pajak adalah SPT Tahunan siap saji Orang Pribadi Karyawan
dan data yang dimaksud bersumber dari Pemberi Kerja berupa data penghasilan,
PTKP, pengurang penghasilan (cth biaya jabatan) dan pajak yang telah dipotong.
Seluruh data tersebut adalah data yang selama ini tertuang dalam bukti
pemotongan pajak 1721-A1 (untuk Pemberi Kerja selain instansi pemerintah) dan 1721-A2
(untuk Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah).
Untuk
mendorong terobosan baru ini telah pula dilakukan reformasi pada peraturan
perpajakan dan proses bisnis di Ditjen Pajak (peraturan perpajakan dan proses
bisnis adalah dua pilar lainnya yang menjadi fokus dalam reformasi perpajakan),
yang ditandai dengan terbitnya Per-01/PJ/2017 tanggal 23 Januari 2017 tentang
Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik. Melalui beleid tersebut Ditjen
Pajak “memaksa” Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Masa/Tahunan secara
elektronik, termasuk didalamnya adalah SPT Masa PPh Pasal 21/26 yang wajib
dilaporkan oleh Wajib Pajak (Pemberi Kerja).
Pun
demikian, Pemberi Kerja sesuai Per-16/PJ/2016 tanggal 29 September 2016 wajib
mencetak bukti pemotongan PPh atas pemotongan dan/atau pemungutan yang telah
dilakukannya dan menyerahkannya kepada Penerima Penghasilan paling lama 1
(satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Bukti pemotongan pajak yang
diterima oleh Penerima Penghasilan akan digunakan untuk meneliti data yang
masuk dalam SPT Tahunan siap saji. Jika data sudah benar, maka Penerima Penghasilan
(dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan)
dapat langsung menggunakannya dalam mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
sehingga Wajib Pajak hanya perlu menambahkan atau memperbaharui
lampiran-lampiran lainnya seperti lampiran harta, utang ataupun tanggungan.
Beberapa
keuntungan yang akan dinikmati baik oleh Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak dari penerapan
SPT Tahunan siap saji adalah mengurangi beban Wajib Pajak untuk patuh
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya (compliance
tax burden), meningkatkan kepastian hukum dilihat dari sisi telah
terkonfirmasinya jumlah pendapatan dan pajak yang telah dipotong oleh Pemberi Kerja
dan dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, kehandalan data
juga akan meningkat dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengisian SPT
Tahunan Orang Pribadi. Dari sisi Ditjen
Pajak diharapkan di tahun 2017 ini sejalan
dengan penerapan Per-01/PJ/2017 diaplikasikannya sistem SPT Tahunan siap saji
akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Sejurus dengan itu penerimaan pajak pun
diharapkan akan melesat.
-----
Belalang Sipit
Pontianak 2018
Telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia (13/03/2018) dengan judul SPT Siap Saji dan Kepatuhan Pajak http://koran.bisnis.com/read/20180313/251/748858/wajib-pajak-spt-siap-saji-dan-kepatuhan-pajak-
Pontianak 2018
Telah dimuat di Koran Bisnis Indonesia (13/03/2018) dengan judul SPT Siap Saji dan Kepatuhan Pajak http://koran.bisnis.com/read/20180313/251/748858/wajib-pajak-spt-siap-saji-dan-kepatuhan-pajak-
[1] Laporan Kinerja DJP Tahun 2016, http://www.pajak.go.id/sites/default/files/LAKIN%20DJP%202016.pdf
[2] Indar Khaerunnisa & Adi Wiratno, Pengaruh Moralitas Pajak, Budaya Pajak dan
Good Governance Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, Jurnal Riset Akuntansi dan
Perpajakan, JRAP Vol. 1 no. 2, hal 211-224 ISSN 2339-1545
[3] CTPA-OECD, Using Third Party Information Reports to Assist Taxpayers Meet Their
Return Filing Obligations-Country Experiences With the Use of Pre-popupated
Personal Tax Returns, March 2006