Tetiba sore itu saya begitu merindukan Mila.
Mila adalah kawan saya. Saban pagi tepat pukul 07.30 wib Mila mengudara. Mic dengan volume maksimal jadi kekasihnya. Dipapahnya suara Mila yang lembut hingga terdengar sampai ke sudut-sudut ruang kantor. Suaranya memecah pagi, membuat terang Kota Pontianak. Matahari lantas tertawa terbahak-bahak. Pukul 07.30 di sana laksana pukul 10.00 di ibu kota.
Di himpit tubuh-tubuh letih para wanita di dalam lambung si kuda besi samar-samar seperti mendengar suaranya lagi. Makin lama makin keras. Ia berteriak. Menjerit.
Padahal semua pun tahu, tidak pernah sekali pun Mila meninggikan suaranya. Ingin rasanya saya cubit pipinya dan membalasnya,"diam, Mila ! Saya letih." Tapi apa mau dikata, tak ada satu pun yang dusta. Semua benar adanya. Dengan mata terpejam dan tubuh yang terobang ambing seperti perahu nelayan di lautan, saya cuma bisa tersenyum mendengar pekiknya,"Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberi kami pekerjaan disaat orang lain masih sibuk mencari pekerjaan."
Mata saya terjaga. Pintu kereta terbuka di Sudirman. Kali ini suara betulan, meski bukan suara Mila. "Mbak... Mbak... Aduh jangan dorong-dorong." "Masuk, Mbak jangan di pintu !" Teriakan macam itu biasa terdengar di tiap stasiun pemberhentian. Para penumpang cuma beradu pandang, lalu saling lempar senyuman. Sampai kemudian mbak-mbak yang berdiri di depan pintu teriak,"Aduh, Mbak leher saya jangan dicekik !" Penumpang lain saling membelalakkan mata. Kaget. Geli. Miris. Campur aduk. Entah lah, rasa apa yang mampir di dada.
Dan Mila menjerit lagi di telinga saya.
-Belalang Sipit-