Selalu ada yang pertama kali. Pertama kali masuk sekolah. Pertama kalo naik ojol, naik KRL atau naik bis kota. Bahkan bagi yang pertama kali makan di rumah makan padang pun ada ilmunya. Meski kelihataannya sepele, tidak tahu ilmu, tips dan triknya bisa berakibat fatal. Fatal malunya.
Dua puluh tahun lalu saya pernah mempunyai sahabat akrab. Asal Tasik. Kami dekat sekali. Mungkin karena saat itu kami berdua sama-sama perantau. Ukuran akrab yang saya maksud adalah kami berdua tidak pernah malu untuk berbagi kisah yang memalukan. Seberapa pun "katrok"-nya kisah itu.
Suatu siang teman saya itu pergi ke rumah makan padang di jalan Cihampelas. Hari sebelumnya memang saya sekembali dari tugas luar membawa dua bungkus nasi padang. Satu untuk saya dan sebungkus lagi untuknya. Ayam bakar, sayur nangka, daun singkong dan sambal cabe ijo. Enak ? Pasti ! Makanya tidak kalau heran esok harinya dia ingin mengulang kembali. Kali ini sendirian. Biar ngirit, maklum tanggung bulan. Ah dasar pelit ! Hari itu adalah kali pertama di pergi ke rumah makan padang.
Besoknya dia mengajak saya ke sana. "Yuk lah siang ini Kamu saya traktir. Tanggung bulan begini bukan halangan makan di rumah makan padang," katanya sambil tersenyum.
"Mahal ah," kata saya.
Tapi dia maksa. Akhirnya jadi lah siang itu kami berdua kembali ke sana.
"Eh Teteh yang kemarin. Makan di sini atau di bungkus? "
"Iya Pak, balik lagi. Jadi langganan. Sekarang malah bawa teman. Mau saya traktir. Kaya kemarin, dua ya. Minumnya es teh tawar," jawabnya bersemangat.
Pelayan memandang saya dengan tersenyum. Sebetulnya bisa dibilang dia menahan tawa hingga terlihat seperti tersenyum. Entah mengapa saya benci melihatnya. Namun saya tetap balas tersenyum. Kami berjalan menuju meja kosong di depan kasir, satu-satunya meja yang tersisa. Saat makan siang begini rumah makan memang penuh.
Sejurus kemudian pelayan tadi datang dengan dua piring nasi berikut asesoris di atasnya, sayur nangka, daun singkong rebus, timun, kuah rendang dan sambal ijo. Serta segelas es teh tawar. Bola mata saya berganti ganti menatap hidangan, teman saya dan pelayan tadi.
"Makanan di sini murah, cuma tiga ribu. Kirain teh makan di rumah makan padang tuh mahal. Kamu nggak pernah bilang. Sok atuh cepet dimakan jangan cuma dilihat-lihat !" katanya dengan menyodorkan tiga jari tangannya tepat ke wajah saya.
Pembeli lain berpaling menatap dua piring nasi di depan kami.
Saya semakin benci melihat senyum pelayan itu kala melihat dan mendengar teman saya bicara, apalagi sekarang satu alisnya dia naikkan. Saking bencinya saya tertawa hingga mengeluarkan air mata. Neng Aas menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.. Bahunya naik turun. Suaranya tawanya nyaris tidak terdengar.
Ari kamu, Neng Aas meni polos pisan kaya kertas quarto. Ini mana lauknya. ??
Dua puluh tahun lalu saya pernah mempunyai sahabat akrab. Asal Tasik. Kami dekat sekali. Mungkin karena saat itu kami berdua sama-sama perantau. Ukuran akrab yang saya maksud adalah kami berdua tidak pernah malu untuk berbagi kisah yang memalukan. Seberapa pun "katrok"-nya kisah itu.
Suatu siang teman saya itu pergi ke rumah makan padang di jalan Cihampelas. Hari sebelumnya memang saya sekembali dari tugas luar membawa dua bungkus nasi padang. Satu untuk saya dan sebungkus lagi untuknya. Ayam bakar, sayur nangka, daun singkong dan sambal cabe ijo. Enak ? Pasti ! Makanya tidak kalau heran esok harinya dia ingin mengulang kembali. Kali ini sendirian. Biar ngirit, maklum tanggung bulan. Ah dasar pelit ! Hari itu adalah kali pertama di pergi ke rumah makan padang.
Besoknya dia mengajak saya ke sana. "Yuk lah siang ini Kamu saya traktir. Tanggung bulan begini bukan halangan makan di rumah makan padang," katanya sambil tersenyum.
"Mahal ah," kata saya.
Tapi dia maksa. Akhirnya jadi lah siang itu kami berdua kembali ke sana.
"Eh Teteh yang kemarin. Makan di sini atau di bungkus? "
"Iya Pak, balik lagi. Jadi langganan. Sekarang malah bawa teman. Mau saya traktir. Kaya kemarin, dua ya. Minumnya es teh tawar," jawabnya bersemangat.
Pelayan memandang saya dengan tersenyum. Sebetulnya bisa dibilang dia menahan tawa hingga terlihat seperti tersenyum. Entah mengapa saya benci melihatnya. Namun saya tetap balas tersenyum. Kami berjalan menuju meja kosong di depan kasir, satu-satunya meja yang tersisa. Saat makan siang begini rumah makan memang penuh.
Sejurus kemudian pelayan tadi datang dengan dua piring nasi berikut asesoris di atasnya, sayur nangka, daun singkong rebus, timun, kuah rendang dan sambal ijo. Serta segelas es teh tawar. Bola mata saya berganti ganti menatap hidangan, teman saya dan pelayan tadi.
"Makanan di sini murah, cuma tiga ribu. Kirain teh makan di rumah makan padang tuh mahal. Kamu nggak pernah bilang. Sok atuh cepet dimakan jangan cuma dilihat-lihat !" katanya dengan menyodorkan tiga jari tangannya tepat ke wajah saya.
Pembeli lain berpaling menatap dua piring nasi di depan kami.
Saya semakin benci melihat senyum pelayan itu kala melihat dan mendengar teman saya bicara, apalagi sekarang satu alisnya dia naikkan. Saking bencinya saya tertawa hingga mengeluarkan air mata. Neng Aas menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.. Bahunya naik turun. Suaranya tawanya nyaris tidak terdengar.
Ari kamu, Neng Aas meni polos pisan kaya kertas quarto. Ini mana lauknya. ??
Bertahun kemudian (di awal tahun 2000) kalau kamu ingat sebuah iklan di tv rilis dengan materi yang hampir sama. Kalau tidak salah ingat iklan permen. Jangan-jangan terispirasi dari cerita yang bahkan belum pernah saya tulis 😃 atau jangan-jangan kamu yang jual cerita kita ya, Neng ?
-----
Belalang Sipit
07/01/2019
-----
Belalang Sipit
07/01/2019