Bel Sepeda Pakde Slamet
Sepucuk surat dari Ibu baru saja tiba tadi siang. Surat dalam amplop putih diserahkan Mila. Mila, teman kosku. Hari ini kelasnya baru dimulai selepas dzuhur. "Jeng, ada surat dari Ibumu. Sepertinya penting," kata Mila saat ia datang menghampiri kelasku barusan.
Surat dari Ibu kali ini memang tidak biasa. Surat kedua yang aku terima dari Ibu, di tengah bulan begini. Biasanya surat dari Ibu datang tiap awal bulan. Menggunakan amplop coklat besar macam kalau kita hendak mengirim lamaran kerja. Lewat surat Ibu menumpahkan seluruh rindu yang ia telah kumpulkan selama satu bulan. Makanya tidak heran jika tebalnya bukan main.
Terkadang jika ada rejeki lebih di antara lembaran surat, Ibu menyelipkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Ibu bilang itu bonus untukku karena telah menjadi anak gadisnya. Ah Ibu, aku yang lebih pantas berterima kasih karena kau telah sudi melahirkan dan membesarkanku.
Karenanya tebalnya surat Ibu, Mila sering mengolok-ngolok mengatakan bahwa surat dari Ibu lebih pantas disebut kumpulan cerpen. Aku cuma tertawa membalas olokannya. Terkadang melihat tumpukan surat dari Ibu terbersit juga niat untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Barangkali akan laris manis di pasaran. 'Surat dari Ibu' terdengar manis, bukan?
Aku merobek pinggir amplop. Surat ibu hanya satu lembar dengan beberapa baris tulisan di atasnya. Singkat. Sebelum lanjut membacanya, aku menjawab terlebih dulu salam dan pertanyaan Ibu mengenai kabarku. "Waalaikumssaallam, Ibuku sayang. Alhamdulillah berkat doa Ibu, aku baik-baik saja. Sehat. Tidak kelaparan. Belajar pun lancar," lirih suaraku.
Duh, rasanya Ibu ada di hadapanku saat aku membaca kalimat selanjutnya. Dengan wajah cemas ia seolah berkata,"Nduk, si
Jago hilang." Deg. Jantungku berhenti sejenak. Terasa ada palu besar menghantam dadaku. Sakit sekali. Kalau saja dapat kulihat wajah Ibu saat menulis surat ini pastilah akan tampak duka di sana. Jago nama sepeda milik Pakde Slamet.
Selang beberapa hari kemudian datang surat ketiga dari Ibu. Isinya singkat, mengabarkan kalau Jago masih belum ditemukan. Tetapi Ibu suara mendengar suara bel si Jago. Kring kring.
****
Antara Ibu dan Pakde Slamet tidak ada hubungan kekerabatan. Pakde Slamet hanyalah tetangga kami di kampung semata. Karena sejak kecil sudah berkawan dengan Ibu dan Paklik Parno dan secara kebetulan pula usianya lebih tua jadilah oleh kami dipanggil Pakde. Usianya sekitar 65 tahunan. Pensiunan PJKA. Ibu bilang saat ia lahir, Pakde Slamet sudah duduk di sekolah dasar.
Di usianya yang telah lanjut Pakde Slamet bisa dibilang masih gagah. Masih tersisa otot-otot kekar dari masa mudanya dulu.
Sewaktu muda Pakde Slamet jagonya tarung sepeda alias balap sepeda liar di kampungku. Namanya bahkan mahsyur sampai ke kampung tetangga. Sudah jadi rahasia umum jalan Deandles yang mulus saban minggu sore jadi ajang balap sepeda liar.
Bukan cuma jago menggoes pedal sepeda, penampilan Pakde Slamet yang selalu 'mbois' juga jadi salah satu daya pikatnya. Kaca mata pitam, sepatu kodachi, dan sabuk kulit hitam besar. Belum lagi sepeda jengki Pakde Slamet selalu klimis. Peleknya aduhai. Silau mata memandang. Pada bel sepedanya ditempel stiker bertuliskan 'Jago'.
Kalau sepeda yang dikayuh Pakde Slamet melintas, warga yang berkumpul di sepanjang jalan menarik napas dalam-dalam. Harum dari minyak rambut Brisk yang ditinggalkannya membuat sorak sorai warga makin kencang. Kegirangan. Pakde Slamet si pria brisk. Pria masa kini.
Sorak sorai warga dibalas Pakde Slamet dengan membunyikan bel si Jago berulang ulang. Kring kring kring. Panjang dan nyaring.
Melihat penampilan Pakde Slamet dan mendengar kemahirannya mengendalikan si Jago membuat lawan keder duluan Lawan yang berani adu kekuatan dibuat kalah sebelum bertanding. Pemenangnya bukan cuma Pakde Slamet, tapi juga para bandar. Bandar pesta pora.
Pernah kutanya pada Ibu mengapa Pakde Slamet bisa begitu lengket pada sepeda. Ibu bilang itu karena dulu Mbah Sani-ibu Pakde Slamet-ngidam sepeda saat hamil Pakde. Karena baru keturutan setelah lahir, Pakde jadi begitu 'madatan' kalau lihat sepeda. Sampai-sampai pernah tidur sambil memeluk sepeda.
****
Petaka itu terjadi pada tarung sepeda di akhir tahun 80-an. Saat itu usia Pakde Slamet baru empat puluh tahun. Awalnya Pakde tidak berniat ikut tarung, tapi iming-iming hadiah menggodanya. Atap dapur kebetulan sedang bocor. Istri pun merengek minta ganti kursi ruang tamu.
Semula tarung berjalan lancar. Pakde memimpin sejak start. Sepuluh meter
menjelang garis finish tetiba salah satu peserta menabrak sepeda yang dikendarai Pakde Slamet dari belakang. Padahal Pakde
tengah ancang-ancang untuk selebrasi.
Pakde Slamet lepas kendali. Sepedanya berbelok ke kiri meninggalkan arena pertandingan. Prakk! Roda depan menghantam keras pohon kelapa di sisi jalan. Tubuh Pakde Slamet melayang di udara dan jatuh terhempas di aspal panas jalan Deandels. Pakde Slamet tak sadarkan diri. Kaki kirinya patah jadi tiga bagian. Untung tidak ada luka serius di bagian tubuh lainnya. Warga menjerit histeris. Jalan Deandles berduka.
Sejak saat itu ia berhenti dari tarung sepeda. Setelah dua bulan melakukan perawatan di dukun patah tulang akhirnya Pakde Slamet boleh pulang. Enam bulan kemudian Pakde Slamet bisa berjalan lagi dengan kedua kakinya. Kedua kakinya tidak sama lagi panjangnya. Biar dibilang sudah sembuh kaki kirinya tampak bengkok dan sedikit lebih pendek. Warga bersedih. Namun tidak dengan Pakde Slamet. Dia berangsur gembira seperti sedia kala.
Kecintaan Pakde Slamet pada sepeda bagai cinta Kaisar Mughal Shah Jahan pada Arjumand Banu Begum. Tidak pernah padam. Cintanya masih tetap senyaring bel sepedanya. Pakde Slamet tetap setia pada Jago. Pelek dan bannya Jagi sudah diganti yang baru.
Pakde Slamet sudah kembali bersepeda.
Tiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Tiga puluh hari dalam sebulan. Tiga ratus enam puluh hari dalam satu tahun. Dua ribu delpan ratus empat puluh delapan hari dalam sewindu. Jago tidak lagi tarung di jalan Deandels, tapi keliling mengitari kampung. Tepat pukul setengah empat dinihari Pakde Slamet membangunkan warga. Bel sepedanya yang nyaring dibunyikan tanpa henti. Kring kring. Kring kring. Warga yang terbangun akan menyahut dari dalam rumahnya,"njih. Kulo wis tangi Pakde."
Mendengar itu hatinya diselimuti bahagia. Senyum Pakde Slamet mengembang.
Tungku-tungku mulai dinyalakan. Asap mengepul berbaur dengan kabut pagi. Bau kayu dibakar dan gemericik air dari pemandian warga menjadi pertanda subuh segera tiba. Berbondong jamaah mendatangi surau yang ada di tengah kampung.
Hari berganti hari hingga tiba saatnya sang waktu memakan usia Pakde Slamet. Kedua kakinya yang kokoh tidak sanggup lagi mengayuh. Bukan cuma kakinya, kedua matanya pun tidak seawas dulu lagi. Matanya seperti pagi di Wonosobo yang selalu berkabut. Katarak melapisi kedua matanya. Mata yang dulu meluluhkan banyak hati gadis-gadis kampungku telah redup.
Mendapati dirinya yang tak seperti dulu lagi sebetulnya Pakde Slamet berniat untuk pensiun. Berhenti keliling kampung. Toh sekarang di kampungnya sudah ada listrik. Pak ustad tinggal halo halo bangunkan warga dengan pengeras suara,"bangun. Bangun. Waktu subuh akan segera tiba."
Niatnya diurungkan. Pernah beberapa kali dicobanya berhenti berkeliling. Jamaah di surau yang biasanya lima baris, tersisa tinggal satu baris. Dapur-dapur terlambat mengepul. Sinar matahari lebih dulu datangnya dari aroma bau kayu dibakar. Warga merindukan bunyi bel si Jago.
Akhirnya Pakde Slamet kembali keliling kampung. Warga senang bukan main.
Perlahan dikayuhnya si Jago. Pakde keliling lebih awal. Jam tiga pagi Pakde sudah keluar rumah. Belnya sudah dibunyikan. Warga sudah menyahut dari dalam rumah,"njih Pakde. Kulo wis tangi." Tak apa lebih pagi dari biasanya. Malah sempat shalat tahajud. Begitu kata warga.
Namun hari ini kampung geger. Si Jago yang disandarkan di halaman rumah Pakde hilang. Bukannya lupa memasukkan ke dalam rumah, tetapi berpuluh tahun memang di sanalah tempat si Jago. Siapa yang tega mengambilnya. Entahlah. Karena kesalnya, Pak Darmo tetangga sebelah rumah menawarkan diri mengantar Pakde ke orang pintar. Biar sepedanya lekas ditemukan. Tapi Pakde Slamet menolak. "Ndak usah, Mo. Ben wae. Neng isih rejekine yo mengko balik," begitu kata Pakde Slamet.
Warga tidak berhenti mencari. Berita hilangnya Jago tersiar hingga ke kampung sebelah. Pak Lurah dan Pak Polisi menyambangi rumah Pakde Slamet.
Mereka menawarkan diri memberi pengganti si Jago. Pakde tinggal tunjuk mau yang model dan merek apa?Federal, Polygon, Bromton, Wimcycle
atau Family ? terserah Pakde saja. Tinggal pilih. Pakde hanya tersenyum. "Wis to," begitu gayanya menolak tawaran Pak Lurah.
"Ben. Orak popo. Alhamdulillah. Mugi-mugi si Jago ketemu majikan sing luwih apik. Aku ki bersyukur ditinggalke bel si Jago," katanya menjawab tawaran Polisi untuk memperkarakan kehilangannya itu.
Tangannya menggenggam bel si Jago. Kring kring. Nyaring bunyi bel si Jago.
Warga meradang. Dua hari surau sunyi kala subuh datang. Telinga warga kehilangan nyaring bel si Jago. Jago belum juga pulang.
Di tengah kesedihan warga, pada hari ke tiga setelah si Jago hilang, warga dibuat kaget. Antara merasa masih dibuai mimpi atau telah terjaga dari tidur Ibu mendengar suara bel si Jago di halaman rumah. Kring kring. Lama sekali. Ibu dan warga lantas bergegas ke luar rumah. Tak percaya. Tampak oleh mereka punggung Pakde Slamet di kejauhan. Jalannya tertatih. Bel si Jago digenggamnya. Kring kring.
"Njih Pakde. Kulo wis tangi."
Subuh segera tiba.
----
Belalang Sipit
05052020