Seorang tetangga datang ke warung Ibu. Tangannya menggenggam sebuah kantong kresek berwarna hitam. "Bu Is, dua hari lalu saya beli telur di sini. Tadi saya mau ceplok ternyata telurnya sudah dingin," katanya sambil menyodorkan tas kresek berisi telur yang cangkangnya sudah terbuka separuh.
Ibu tanpa pikir panjang langsung menyambut tas kreseknya. Dari bibirnya meluncur deras kata maaf. "Maaf, sudah dingin ya? Sini biar saya ganti yang baru," begitu sahutnya.
Telur dingin yang saya maksud bukan hasil industri 'cool egg' seperti produksi sebuah pabrik di Banyuwangi. Kalau 'cool egg' yang itu merupakan bahan baku roti dan nugget. Memenuhi makna harafiahnya, 'cool egg' memang benar telur segar yang dinginkan. Tentu setelah diolah terlebih dahulu.
Telur dingin yang dimaksud pelanggan Ibu adalah istilah awam untuk mengatakan bahwa telur sudah tidak layak dikonsumsi atau sudah daluwarsa. Telur dingin ditandai dengan putih telur yang encer dan tidak lagi mengikat kuat kuning telur. Jika direndam dalam segelas air biasanya telur dingin akan mengapung.
Kalau dipikir sebetulnya bisa saja jika saat itu Ibu 'menantang' alasan pelanggannya. Bisa jadi saat telur itu dibeli dua hari lalu kondisinya masih baik. Bisa jadi pula telur sebenarnya tidak dibeli dari warung Ibu. Toh waktu kejadian terbilang sudah lama.
Namun Ibu dengan besar hati tidak berkenan mambantahnya. Ibu bilang,"tidak apa-apa. Telur kita masih banyak. Bisa jadi dia betul, di dalam satu peti telur mungkin juga kan ada satu yang dingin?"
Tiap belanja ke pasar belanjaan Ibu memang tidak tanggung-tanggung, telur ayam negeri 2 peti, terigu satu bal, gula 1 bal dan minyak goreng curah dua jeriken. Jadi, kalau dalam 1 peti nyelip satu saja telur dingin sudah barang tentu sangat mungkin.
Bagi Ibu kejujuran jadi perisai hidupnya. Perinsipnya dalam berdagang sederhana, ia hanya ingin kejujuran menjadi nafas dari warung kecilnya. "Jangan takut. Kalau kita jujur, tanpa kita undang pelanggan akan datang", kata Ibu.
Selain produk bagus dan tak henti berinovasi, reputasi juga menentukan sukses tidaknya sebuah usaha. Saya belajar banyak pada Ibu soal bagaimana membangun reputasi.
Reputasi sendiri berasal dari bahasa Latin ‘Reputasiem’, yang berarti “pertimbangan”. Istilah ini menggambarkan bagaimana orang mempertimbangkan atau memberi label, kepada seseorang atau sesuatu, baik atau buruk.
Merriam-Webster (abad ke-14) memberi makna 'reputation' sebagai “overall quality or character as seen or judged by people in general” atau “recognition by other people of some characteristic or ability”.
Ibu membangun reputasinya dengan menerapkan nilai-nilai (value) dalam bisnisnya, dan kejujuran menjadi nilai utamanya. Pilihan Ibu sangat tepat, sebab kita ini yang pada dasarnya terlahir dalam keadaan suci dan bersih sudah pasti akan menyukai nilai-nilai yang baik pula, bukan?
Maka, saya tidak heran ketika pada suatu hari pelanggan yang lain bercerita bahwa istrinya hanya mau membeli es batu dari warung Ibu. Katanya, es batu dari warung Ibu tidak membuat istrinya batuk dan sakit perut. Reputasi yang baik menimbulkan persepsi dan kepercayaan.
Kini mari kita bayangkan bersama kira-kira akan ke manakah kaki melangkah, ke warung yang memberi harga murah tapi timbangan tidak dapat dipercaya? Atau akan balik badan menuju warung yang menjual barang sedikit lebih mahal tapi timbangan tepat?
Saya jelas memilih yang kedua.
Kiranya kini saya dan mungkin juga kamu tidak menjadi heran jika para pelaku usaha berupaya keras untuk menjaga reputasinya. Caranya bervariasi dan saya kira seluruhnya bermuara pada nilai-nilai yang baik. Ada pelaku usaha yang melakukannya dengan mengedepankan pelayanan prima, layanan purna jual yang paripurna, atau mencadangkan dana CSR untuk kemaslahatan masyarakat.
Teranyar, sebelum merangkai tulisan ini saya membaca berita di sebuah media daring (23/09/2021) bahwa mata pelajaran perpajakan rencananya akan diadakan pada jenjang SD hingga SMA (terlaksananya rencana tersebut berkat kerjasama antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kemenkeu).
Lalu apa hubungannya dengan membangun reputasi yang saya jelaskan di atas?
Proyeksikan lah olehmu seperti apa generasi kita ke depan setelah pajak menjadi sebuah budaya. Dan jangan terkaget-kaget jika kemudian, para pelanggan justru akan datang pada para pelaku usaha yang taat pajak.
Ini peluang emas bagi para pelaku usaha, mau besar, kecil, sedang atau nanggung. Bahkan bagi mereka yang baru berangan-angan ingin berusaha. Sebuah strategi jitu yang sayang untuk tidak dilirik. Menurut saya kepatuhan pajak para pelaku usaha adalah jalan ninja dalam membangun reputasi baik.
---
Jakarta (24/09/2021)
#IniAyamPop #BesokOrderLagi